Reformasi Dikorupsi; Kritisi Bisa Masuk Bui
Bumi
Indonesia sedang bergejolak untuk kesekian kalinya. Bukan karena bencana alam
seperti biasanya, namun karena adanya suara yang tidak didengar. Suara rakyat
yang meminta DPR untuk menjadi wakil rakyat dengan sebaik-baiknya. Suara rakyat
yang menuntut pembatalan RKUHP yang dianggap mengurusi hal-hal yang sebenarnya
tidak perlu.
RUU KUHP (Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana) atau biasa dikenal dengan RKUHP adalah sebuah rancangan pasal perundang-undangan yang siap untuk di sah-kan pada paripurna 24 September 2019 namun sementara ini ditunda (bisa jadi dibatalkan) karena terendus kejanggalanya oleh berbagai kalangan masyarakat (baca: Mahasiswa). Kejanggalan yang ada dalam RKUHP dapat ditemukan dalam hampir semua elemen RKUHP dengan total 14 isu yang dibahas di dalamnya.
Salah satu pasal nyeleneh yang cukup menggangu yakni mengenai Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang dinilai membatasi gerak kebebasan berpendapat para warga negara.
RUU KUHP (Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana) atau biasa dikenal dengan RKUHP adalah sebuah rancangan pasal perundang-undangan yang siap untuk di sah-kan pada paripurna 24 September 2019 namun sementara ini ditunda (bisa jadi dibatalkan) karena terendus kejanggalanya oleh berbagai kalangan masyarakat (baca: Mahasiswa). Kejanggalan yang ada dalam RKUHP dapat ditemukan dalam hampir semua elemen RKUHP dengan total 14 isu yang dibahas di dalamnya.
Salah satu pasal nyeleneh yang cukup menggangu yakni mengenai Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang dinilai membatasi gerak kebebasan berpendapat para warga negara.
Bagian Kedua
Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal
219
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau
gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar
oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi
penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil
Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak kategori IV.
Pasal 220
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya
dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
yuk baca RUKUHP selengkapnya disini.
Ketika membaca sekilas tentang pasal di atas, nampak tidak ada yang salah. Kan memang benar seorang presiden dan wakil presiden harus dihormati dan dihargai dengan cara tidak melanggar harkat dan martabat mereka. Namun pasal-pasal seperti ini membuat gelombang kritik melalui berpendapat dengan berbagai media menjadi surut. Masyarakat yang awalnya kritis terhadap keputusan yang diambil pemerintah menjadi bungkam dan ngikut wae karena takut dengan ancaman dipenjara.
Pasal mengenai perlindungan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden yang tertulis di pasal 218 dan 219 bersifat melindungi pemerintah beserta simbol negara. Masyarakat seolah-olah tidak diperbolehkan mengungkapkan pendapat terkait rezim yang mengatur kehidupan banyak orang. Melihat kembali ke pasal 219 yang mana tertulis "berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden". Dalam bagian itu tidak tercantum bentuk penyerangan kehormatan dan harkat martabat terhadap Presidan dan Wakil Presiden seperti apa yang dimaksudkan.
Menanggapi pasal ini, ada dua sikap berbeda menanggapi kontroversi pasal perlindungan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ini. Ketua dan Wakil Ketua DPR memiliki pandangan yang berbeda tentang pasal-pasal ini. Ketua DPR, Fahri Hamzah menyatakan bahwa Presiden adalah objek kritik dan sebagai manusia, bukan lambang negara. Namun wakil ketua DPR, Taufik Kurniawan menganggap Presiden dan Wakil Presiden perlu dijaga martabatnya.
Ketiga pasal di atas bertabrakan dengan Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi begini, lho..
Bunyi Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat"
Jika membela pasal 218 219 220 berarti mengingkari kedaulatan negara sendiri sebagai Negara Demokrasi karena Presiden dan Wakil Presiden dianggap terutama di mata hukum, yang mana bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat, mengkritisi, dan berekspresi yang dimiliki oleh warga negara.
Memang, sih kedudukan Presiden dan Wakil Presiden sangatlah berisiko jika tidak dilindungi oleh undang-undang. Pasti kalian juga sering mendengar berita tentang penghinaan dan ancaman pembunuhan yang dilayangkan kepada Presiden dan Wakil Presiden kita tercinta. Belum lagi dibumbui oleh ungkapan-ungkapan provokatif dari oposisi yang masih saja mengungkit soal pemilu Bulan April lalu. Dengan adanya pasal-pasal ini, perlakuan negatif secara verbal maupun non verbal terhadap Presiden dan Wakil Presiden bisa berkurang bahkan hilang.
Tapi,
pasal-pasal diatas rentan disalahgunakan. Konten narasi dari pasal-pasal 218-219-220 yang kurang jelas bisa aja, lho dijadikan senjata untuk mendakwa pengkritik Presiden maupun pemerintah yang dianggap menghina meski intensinya tidak seperti itu.
Sexy Killer karya Dandhy Laksono melalui Watchdoc Documentary bisa saja dianggap menghina pemerintah karena menunjukan sisi gelap dari pertambangan batu bara dan hubunganya dengan badan politik yang kurang bertanggung jawab. Padahal melalui dokumentasi itu, banyak masyarakat menjadi terbuka matanya soal perpolitikan dan mengkritisi keputusan pemerintah seputar tambang batu bara yang merusak lingkungan.
Yang perlu diketahui dari pasal ini adalah bentuknya merupakan aduan, sesuai dengan pasal 220 RKUHP, maka jika nanti pasal ini diterapkan, Kepolisian tidak bisa langsung menindak penghinaan, melainkan harus ada laporan dari kuasa Presiden atau Wakil Presiden. Tapi definisi kuasa Presiden dan Wakil Presiden tidak dijabarkan secara jelas. Jika RKUHP jadi diterapkan tanpa adanya perubahan lebih lanjut terhadap frasa ini, bisa jadi pasal ini disalahgunakan untuk berbagai pihak yang mengaku sebagai 'kuasa Presiden dan Wakil Presiden' untuk menjerat para pengkritik Pemerintah yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat.
Sekarang bukan lagi saatnya kritisi tapi masuk bui. Berpendapat dan mengkritisi politik serta pemerintah sangatlah penting untuk kemajuan suatu bangsa. Tanpa adanya pemikiran kritis, tidak akan ada pembaharuan nalar dan perubahan.
0 comments