Jangan Melupakan Tim

by - June 09, 2020

Unsplash.com/Randyfath
Ketika aku masih duduk dibangku sekolah, aku punya teman sekelas yang pinter banget. Dia berjenis kelamin perempuan, panggil saja namanya NEY (bukan nama sebenarnya). Kami tidak begitu dekat tapi kami satu kelas terus sehingga secara tidak langsung kami lumayan dekat. Masih saling follow Instagram dan Twitter, sahut-sahutan di grup kelas, dan kalau mereceh masih saling menanggapi. Tapi kami tidak punya bonding persahabatan.

Dia sudah dikenal oleh-guru-guru sebagai siswi yang pintar, ranking satu terus-menerus, dan sering menang di berbagai perlombaan akademik maupun non akademik. Aku dan Ney kebetulan di satu sekolah yang sama terus-terusan jadinya paham sama prestasi dia dan perilaku guru-guru ke dia. Ney ini pokoknya dikenal sebagai siswi yang plus-plus, lah intinya. Nggak salah emang kalau banyak cowok yang naksir sama si Ney ini. Aku juga kagum dengan keenceran otak si Ney.

Si Ney ini nggak terlihat seperti anak nerd yang hobi belajar mulu. Dia aktif main sosmed, olahraga, ataupun hangout ala-ala ABG pada jamannya. Gaul deh pokoknya. Tiap kali mau ulangan, nih ya, aku biasa menemukan dia di kelas mainin handphonenya dan aku biasa nanya, "Udah hafal buat ulangan IPS nanti gak, Ney?" dia pasti jawab kalau dia nggak begitu hafal dan agak gak paham. Tapi begitu nilai ulangannya keluar, dia dapet 100. Bangke, kan?

Dia selalu merajai peringkat satu di kelas. Melihat kehidupannya yang asik-asik aja tapi bisa ranking satu, aku si anak culun berkacamata seperti Betty La Fea berniat menggeser tahtanya. Dari seorang bocah yang nggak niat belajar dan nggak pernah dapat ranking di kelas menjadi anak yang rajin datang les dan tekun belajar. Berapapun ketebalan buku IPS atau IPA aku jabanin demi dapat peringkat di kelas. Namun akhirnya selama tiga semester berturut-turut aku nggak bisa menggeser posisinya di peringkat satu karena aku selalu dapet peringkat tiga. Oh, damn! Tapi gapapa, aku tetep semangat menjalani kehidupan sekolahku kok.

Tiba di suatu momen yang sebenernya aku udah agak lupa, intinya kita satu kelompok untuk membuat proyek prakarya kreatif. Aku inget banget waktu itu kelompok kita buat buku yang bentuknya unik banget. Out of the box gitu konsepnya. Kita sekelompok berisi 4 orang pun langsung ngerjain prakarya itu karena waktunya terbatas. Pas waktunya habis, semua kelompok harus mengumpulkan prakarya kelompok mereka ke depan. Aku dan Ney ikutan maju ke depan karena ingin melihat hasil prakarya kelompok lain. Memang kalau dilihat, hasil prakarya kelompokku yang paling beda dan kreatif. Lalu ada seorang guru datang dan memegang hasil prakarya kelompok kami dan nyeletuk,

"Ini yang buat pasti Ney, ya bagus banget". 

Lalu ada satu dari segerombolan siswa yang menjawab, "Kalau Ney yang buat pasti bagus".

Tersanjung dong, eh tapi kok cuma si Ney yang buat? Padahal kami sekelompok empat orang juga semua kerja dan mikirin gimana konsep buku itu supaya jadinya bagus dan beda. Keselnya, si Ney cuma senyum-senyum aja. Dia tidak membela kelompoknya dengan bilang kalau buku prakarya itu juga hasil kerja kawan-kawan sekelompoknya. Aku cuma bisa senyum kecut dan pergi kembali ke tempat duduk bersama dua teman sekelompokku yang lain. Dan sudah bertahun-tahun berlalu, aku masih ingat kejadian itu. How can it be?

Hari itu rasanya kerja keras seakan sia-sia. Jiwa kelabilan anak ABG yang haus pengakuan meronta-ronta. Memang, sih hasil karya kelompokku diapresiasi, namun hanya karena ada satu subjek yang dianggap paling unggul di dalam kelompok. Padahal kami bekerjasama dan berpikir bersama.

Tidak ada yang salah dengan menjadi pintar, superior, dan dikagumi. Bukankah hal-hal tersebut juga dicari melalui apa yang kita lakukan? Aku juga punya banyak idola dan role model yang cerdas, menginspirasi, dan dikenal banyak orang kok. Namun yang salah adalah ketika tenggelam dalam kenikmatan pujian hingga lupa bahwa ada orang lain yang juga turut serta berkontribusi atas keberhasilanmu atau tim-mu. Melupakan tim dan orang-orang 'kecil' yang membantu kesuksesanmu bukanlah hal yang mengagumkan.

Sejak kejadian itu, aku jadi punya komitmen untuk tidak melupakan tim dalam apapun yang aku kerjakan bersama timku. Mau itu gagal atau berhasil, kita harus menikmati dan mengakuinya bersama-sama. Apresiasi dan cacian juga ditanggung bersama-sama.



You May Also Like

0 comments

Instagram