Generasi Sandwich

by - July 15, 2020



Lagi rame di Twitter tentang 'Generasi Sandwich' yang sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala tetapi baru-baru ini saja banyak yang speak up tentang gimana kerasnya hidup terutama buat para orang-orang generasi sandwich. Mungkin mereka sudah gerah dan lelah untuk jadi genarasi ini yang sepertinya kok semakin hari semakin menjadi.

Rupanya Generasi Sandwich pertama kali diperkenalkan ke publik secara luas oleh Dorothy A. Miller yang merupakan seorang profesor dan direktur praktikum Universitas Kentucky, Amerika Serikat pada tahun 1981 melalui jurnalnya yang berjudul The 'Sandwich' Generation: Adult Children of The Aging.

Dalam jurnal yang ditulisnya itu, Dorothy mengartikan generasi sandwich sebagai generasi yang harus menanggung hidup tidak hanya orang tua mereka, namun juga anak-anak mereka. Keadaan mereka seolah terjepit oleh generasi setelahnya (anak) dan generasi sebelumnya (orang tua). Hal tersebut tentu menyebabkan tekanan yang besar bagi si generasi sandwich. Ya lo bayangin aja misalnya lo seorang generasi sandwich dan masih berjuang memperbaiki kehidupan finansial, eh tapi lo punya tanggungan atas orang tua lo dan anak-anak lo. Bukankah sulit untuk bisa segera maju dalam hal finansial? Bukan tidak mungkin, namun butuh waktu dan menguras mental, perasaan, serta tenaga berkali lipat daripada orang-orang yang bukan generasi sandwich, kan?

Setelah premis generasi sandwich, muncullah premis lanjutan yakni toxic parents. Awalnya aku pikir itu dua topik yang berbeda, namun rupanya saling berhubungan. Generasi Sandwich bisa disebabkan oleh banyak faktor dan salah satunya karena seseorang itu memiliki orang tua yang beracun.

Bukannya aku menolak untuk berbakti kepada orang tua dengan membiayai kehidupan dan membahagiakan mereka, namun perlu diketahui bahwa aku kurang setuju dengan pandapat bahwa anak adalah instrumen investasi. Lalu kalo orang punya anak buat apa dong kalo gak investasi ketika mereka tua nanti? Siapa yang bakal ngurus si orang tua pas udah pensiun atau sakit-sakitan? 

Pertanyaan-pertanyaan itu jujur membuat aku jadi ikut kepikiran, apa iya orang tuaku memilih untuk melahirkanku dan membesarkanku karena mereka berharap return on investment atas segala yang telah mereka berikan? Jika aku gagal untuk memenuhi ekspektasi mereka bagaimana dong?

Sebagai seorang anak yang mendapat begitu banyak cinta kasih dari orang tua, tentu aku sangat ingin membalas semuanya itu kepada mereka. Aku pun begitu, rasanya gak tega aja lihat orang tua berkorban banyak buat anak-anaknya. Salah satu dari orang tuaku adalah sandwich generation dan aku tahu itu nggak mudah buat beliau. Dan aku sebagai anak juga tahu diri kalau aku masih mampu dan diberi kekuatan untuk menjadi mandiri secara perlahan-lahan supaya beban beliau juga lebih ringan.

 Mungkin para orang tua juga berharap sang anak akan membalas segala kebaikan yang telah mereka berikan kepada anaknya. Tapi jangan sampai menjadikan hal itu sebagai motivasi utama ketika memutuskan untuk punya anak supaya ada yang membiayai ini itu ketika tua, ada yang membantu untuk mengeluarkan mereka dari jurang kegagalan, dan berharap sang anak membalas semuanya itu dengan materi yang mahal. Anak adalah individu baru yang berhak hidup merdeka dan biarkan anak menyadari secara natural bahwa orang tuanya adalah orang yang pantas untuk dibalas kebaikannya.


Pola pikir orang tua yang berharap investasi secara metarial terhadap sang anak ketika ia sudah dewasa dan berkeluarga merupakan salah satu penyebab banyaknya generasi sandwich merasa kehidupanya bertambah berat dan tak jarang berujung pada renggangnya hubungan antara orang tua dan anak. Sang orang tua memiliki harapan bahwa melalui si anak kondisi mereka bisa berubah lebih bahagia secara materi, lebih kaya, lebih diterima di society atau lebih bisa senang-senang mungkin. Di sisi lain, sang anak berharap agar orang tuanya tidak menuntut dan berharap lebih padanya karena sang anak tahu bahwa ia hanya manusia biasa yang bisa saja mengecewakan orang lain meski tidak bermaksud begitu.

Dari situ aku menemukan sesuatu bahwa menjadi manusia yang mandiri adalah pilihan hidup yang baik. Meskipun ujung-ujungnya kita makhluk sosial yang butuh orang lain, tapi tahu kan bedanya butuh orang lain karena memang situasi sedang terdesak sama butuh orang lain karena kitanya parasit?  

Lalu kalo orang tua kita gak bisa mandiri karena alasan kesehatan dan usia terus gimana dong? Ya ini yang terjadi kepada salah satu dari orang tuaku yang mana ortunya sudah tua sehingga bergantung penuh pada anak-anaknya untuk urusan finansial. Yang bisa dilakukan ya cuma berbakti dan menerima mereka apa adanya. Situasi begini emang sulit, tapi kalau berhasil mandiri secara finansial dan bertanggungjawab dengan hidup, niscaya membiayai kehidupan orang tua dan anak akan baik-baik saja (meski berat karena emang cari uang itu gak mudah).

Menghormati dan balas budi kepada orang tua itu baik, bahkan hal yang sangat mulia yang bisa dilakukan oleh seorang anak. Begitu juga untuk orang tua, mencintai dan memberikan yang terbaik untuk anak adalah hal yang sangat indah. Jadilah orang tua maupun anak yang melaksanakan peran dengan maksimal bukan karena berharap balasan, namun karena punya kesadaran bahwa setiap manusia itu bertanggungjawab pada kebahagiaan dan kehidupannya masing-masing. 


We live and die as a person even though we tied in the blood named family.

You May Also Like

0 comments

Instagram